Selasa, 17 Januari 2012

Lulus atau Tidakkah ????

Lulus, adalah kata akhir dari sebuah perjuangan pendidikan. Lulus selalu didambakan oleh peserta didik maupun tenaga pendidik. Namun, akhir-akhir ini kata lulus tidak lagi menjadi kata yang angker; sehingga harus diusahakan seoptimalnya. Bukti telah berbicara, “Ah, paling nanti nilai juga dikatrol!” Atau adalam bentuk ucapan yang lain, “Lulus, masak nilai sekolah (NS) tidak akan ditinggikan. Pasti malulah sekolah kalau nanti banyak yang tidak lulus!”. Tentu masih banyak kata-kata lain yang bermaksa serupa.

Lalu, tingginya kelulusan tahun ini, 2010/2011, apakah mengindikasikan bahwa memang mutu penedidikan kita dah baik? Atau, pernyataan miring di atas adalah sebuah kenyataan? Ini yang harus ditelusur sampai mendapat sebuah generalisasi yang hampir pas.

Kita baru saja dikejutkan oleh sebuah perilaku jujur yang malah hancur. Peristiwa orang tua murid di SD Dagel (?) Surabaya merupakan sebuah contoh. Tatkala dengan tidak merasa berdosa, bahkan tidak lagi memekirkan akibat dari kejujurannya sehingga harus diusir dari tempat tinggalnya , ia katakan bahwa telah terjadi nyontek masal pada ujian kemarin. Terlepas dari akibat tersebut, yang perlu kita cari berita, jangan-jangan budaya nyontek bahkan nyontek bareng pun telah terjadi di mana-mana. Artinya, tidak terbatas di Surabaya.

Banyak cara, agar peserta ujian dapat melakukan kecurangan, di antaranya pembiaran peserta ujian untuk kerja sama dengan peserta lainnya oleh pengawas; penetrasi kepala sekolah kepada pengawas agar memberi kelonggaran peserta didik untuk curang, bahkan pengondisian dengan cara memberikan bantuan dalam bentuk apa pun yang penting peserta ujian dapat tertolong. Lalu pengawas pun juga lunak, karena mereka juga merasa anak didiknya diawasi oleh pengawas dari sekolah lain, sehingga harus memperlakukan yang sama juga. Dengan bahasa lain tahu sama tahu.

Nah, untuk tahu apakah peserta didik kita telah mendekati standar nasional, kita dapat lihat hasil UN-nya. Jika antara NS dengan UN selisihnya banyak, ini mengindikasikan beberapa hal. Pertama, telah terjadi pendongkrakan nilai rata-rata rapot dan nilai akhir sekolah. Kedua, memang standar ujian nasional terlalu sulit sehingga peserta ujian tidak dapat mengerjakan dengan baik.

Problem besar akibat dari indikasi pertama adalah semakin malasnya apeserta didik untuk sungguh-sungguh belajar. Secara tidak langsung atau langsung mereka tahu bahwa nilai yang didapat seberapa pun, kemungkinan besar lulus. Mengapa? Karena akhirnya mereka tahu bahwa nilai ujian sekolah (NS) akan dibuat tinggi. Akhirnya, UN dapat kecil pun akan lolos dan lulus kaena tingginya NS tersebut.

Usaha hebat dari sekolah agar peserta didiknya lulus yaitu dengan memasang rumus kelulusan dengan pengandaian perolehan UN. Dengan cara ini sekolah dapat melakukan revolusi besar-besaran pada NS. Akan diketahui berapa batas minimal NS agar peserta didik lulus. Yang terjadi, peserta didik dengan UN 2,00 dapat lulus karena NS-nya 8,00. Dan itu akhirnya diketahui oleh peserta didik. Mereka sadar sesungguhnya NS dulu tidak sebesar itu, ternyata telah berubah menjadi nilai tinggi sehingga lulus.

Ini akan menjadi berita dari mulut ke mulut peserta didik. Termasuk akan didengar oleh peserta didik yang tahun depan akan ujian.Lalu muncul sikap yang sangat negatif, “Alah, ndak belajar pun pasti diluluskan!”

Tentu hal tersebut tidak dapat digeneralisasikan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar